Objek Kajian Semiotika lukisan Land of Hope
Pendahuluan : seni merupakan bagian dari kehidupan manusia. melalui seni, manusia dapat merasakan nilai keindahan dalam kehidupan dan sebagai menyalurkan ekspresi batin. Seni tidak hanya berasal dari pikiran tertentu, tetapi juga ekspresi dan berbagai ide konsep yang telah dicapai oleh seniman. Agus Triyanto Basuki Rahmat (Agus TBR) adalah salah satu pelukis muda kontemporer yang prestasinya sampai Asia Tenggara. Banyak kompetisi lukis yang dimenangkan oleh beliau. Pada tahun 2018-2020 beliau selalu menampilkan objek kuda sebagai objek utama dalam lukisannya.
Isi
Bentuk formal :
Lukisan Land of Hope.
penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan semiotika Roland Barthes
dalam membaca tanda-tanda yang terdapat dalam lukisan Land of Hope.
Penanda : Lukisan Land of Hope
Petanda : Dalam lukisan Land of Hope, menggambarkan situasi saat peperangan terjadi yang selalu menimbulkan kesedihan ataupun poenderitaan kepada semua orang. Sehingga ada peribahasa menang jadi arang kalah menjadi abu. Perlawanan ini bertujuan untuk memenuhi keinginan dan harapan masyarakat Jawa yaitu merebut kembali pulau Jawa dan mengembalikan kembali tatanan dan norma-norma Jawa yang ada di dalam keraton dan masyarakat. Judul Land of Hope merupakan interpretasi dari harapan masyarakat Jawa yang tertindas oleh kekuasaan asing Belanda.
Ikon : Tanda pada lukisan
tersebut yaitu adanya kuda berkepala tiga berwarna putih tampak kotor, Pangeran
Diponegoro berapakaian warna hijau dan sorban putih, potongan tangan prajurit
Belanda, Suasana saat perang, warna merah pada kaki kuda, kepulan asap.
Indeks : Indeks dalam lukisan ini, Agus TBR memberikan garis dan warna (terang), biru tua dan merah. Visualisasi obej kdan teknik yang beliau lakukan seperti membelokan bentuk awan seolah-olah memisahkan leher manusia dan kuda. Dalam melukis, beliau mengintegrasikan teknik semi impresionitik dengan warna primer atau komplementer, dan tersier.
Simbol : Kuda putih berkepala tiga : memiliki tubuh yang tampak kotor dengan posisi ketiga kepala yang berbeda-beda. Kuda dianggap dalam berbagai budaya yaitu simbol kebebasan, kecerdasan, dan kekuatan. Simbolisme kuda dipengaruhi oleh warna, seperti kuda putih memiliki simbol kehidupan yang indah, pencerahan spritual dan kemenangan. kuda putih yang memiliki tiga kepala dengan sikap tertunduk lemah, posisi tegap serta posisi bersemangat terlihat kotor dan menjijikkan. Seharusnya kuda putih yang merupakan simbol kehidupan, kemenangan dan pencerahan spiritual diwujudkan sebaliknya yang menunjukkan seekor kuda yang sudah ternoda oleh kekelaman,tindakan kekerasan dan kematian.
· Pangeran Diponegoro berpakaian
berwarna hijau dengan sorban putih sedang mengamati medan pertempuran dengan
ekspresi wajah tertunduk lemah sedih.
· Kaki kuda berlumuran darah.
Warna merah melambangkan perang, kesadisan, dan kekejaman terdapat pada kaki
kuda layaknya memperlihatkanperbuatan keji yang telah dilakukan kuda yang
dikendalikan penunggangnya.
· Potongan tangan tentara Belanda,
potongan tangan tergeletak lemah dari perang yang mengerkan.
·
Tangan Prajurit Pangeran
Diponegoro yang merupakan rakyat Indonesia digambarkan kepala berbentuk tangan dengan gerak tangan menujukan rasa sakit yang mendalam akibat
peristiwa tersebut
·
Meriam senjata Belanda
yang sangat mematikan, namun senjata tersebut hancur yang menunjukan keganasan
peristiwa peperangan.
· Api dan kebulan asap, kobaran api yang menyala dan menimbulkan asap tebat sehingga situasi dan suasa tampak mencekam dan mengerikan, menunjukkan situasi yang panas, mencekam akibat dari peperangan yang terjadi.
Prajurit Pangeran Diponegoro Prajurit dari Pangeran Diponegoro tanpa kepala dan tanpa ekspresi dengan tubuh tegap memegang senjata perang siap mengikuti petunjuk dan perintah yang diberikan. Prajurit selalu siap mengikuti perintah yang diberikan oleh pemimpinnya dalam kondisi apa saja, digambarkan tanpa kepala dan ekspresi menunjukkan sifat-sifat kemanusiaan yang sudah hilang.
Peluru meriamPeluru meriam yang berwarna merah darah memperlihatkan keganasan dari peluru meriam seolah-olah senjata tersebut sangat haus akan darah. Warna merah yang merupakan simbol perang, kesadisan dan kekejaman yang terdapat pada peluru meriam sehingga menegaskan bahwa senjata perang merupakan alat untuk membunuh yang memberikan kematian, kesakitan dan penderitaan.
Sawah Pematang sawah yang subur membentang luas menggambarkan kondisi geografis yang kaya dan subur sebagai tempat terjadinya peperangan. Di mana sawah yang luas merupakan bentuk dari kemakmuran dan kesejahteraan.
Pohon Kelapa Pohon kelapa yang berdiri tegak seolah-olah tidak terpengaruh dengan kondisi peperangan yang tumbuh subur di atas rumput hijau. Ini menunjukkan tempat di mana terjadinya peperangan tersebut yang akan memberikan pengaruh atas lahan tersebut. Pohon dan lahan hijau merupakan bentuk kehidupan, kedamaian dan keindahan.
Kesimpulan
Kuda
pada lukisan Agus TBR merupakan personifikasi diri dan identitas
diri dalam mengarungi berbagai persoalan serta
sebagai saksi dari peristiwa dalam kehidupan manusia. Kuda dalam lukisan Agus TBR bukan merupakan kuda yang secara realis apa adanya yang digambarkan tanpa
makna dan tujuan melainkan merupakan bagian dari kehidupan manusia sehingga
digambarkan dengan cara dalam bentuk suatu objek utuh, kuda tanpa kepala atau kuda
yang dikombinasikan antara kuda dengan kuda lain, kuda dengan objek manusia dan alam, ataupun dengan benda-benda lainnya sesuai dengan persoalan yang
menjadi tema lukisannya. Objek kuda yang dilukiskan oleh Agus TBR merupakan
media dalam menyampaikan ide serta gagasannya mengenai narasi dalam
perjalanan hidup yang dialami oleh Agus TBR sendiri ataupun orang lain. Kuda sebagai objek dalam lukisan Agus TBR
merupakan gambaran identitas diri yang berhubungan dengan sejarah kehidupan manusia seperti
kegelisahan yang disimbolkan melalui kuda yang diam tanpa gerakan berlari dengan tanpa ekspresi. Kuda yang dilukiskan merupakan sebuah narasi tentang realitas, perjalanan dan
harapan dari manusia dengan memperlihatkan kerapuhan dari manusia menghadapi
berbagai persoalan di dalam kehidupan.
Sumber : http://www.trijurnal.lemlit.trisakti.ac.id/index.php/jsrr/article/view/13496/7933
Comments
Post a Comment